Minggu, 07 Maret 2010

Duhai Seandainya Saya Melakukannya (Berjihad)


Duhai seandainya saya melakukannya (berjihad). Ucapan ini dilontarkan dengan penuh penyesalan oleh sahabat senior, Ka'b bin Malik r.a. ketika beliau tertinggal (tidak ikut) berjihad dalam Perang Tabuk. Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang diikuti oleh Rasulullah SAW., dan tidak ikut dalam perang tersebut merupakan dosa besar yang memalukan. Perkataan Ka'b ini (mungkin) juga diucapkan orang-orang yang hingga kini belum pergi berjihad padahal dia tahu hukumnya wajib. Lalu, masihkah ada waktu sebelum terlambat, sehingga kita tidak hanya mengatakan 'Duhai seandainya saya melakukannya (berjihad)?



Syarah Hadits Ka'b Bin Malik. r.a.

Mengapa hingga saat ini masih ada orang yang duduk-duduk saja tidak berangkat berjihad padahal hukumnya telah fardhu 'ain? Apa yang melatarbelakangi keengganan seseorang untuk berangkat berjihad membela agama Allah SWT ?

Syekh Usamah bin Ladin, dalam sebuah video yang dikeluarkan oleh As Sahab Media (diterjemahkan oleh Forum Jihad Al Tawbah), berjudul: "Muhadhoroh Hadits Ka'b bin Malik Pada Perang Tabuk", Peringatan Bagi Mereka Yang Duduk Tidak Berjihad (Qo'idun), menjelaskan bahwa beliau telah mempelajari siroh Rasulullah SAW, dan dalam hal ini maka kisah Ka'b bin Malik dalam peristiwa Perang Tabuk sebagaimana telah diriwayatkan haditsnya oleh Shahihain (Bukhari dan Muslim) serta yang lainnya sangat cocok untuk menjadi renungan umat di saat ini.

Dalam hadits yang panjang dan agung ini, sahabat Ka'b bin Malik, mengaku dan berterus terang tentang tabiat jiwa manusia dan lemahnya jiwa manusia. Untuk itu, mari kita mentadaburi kejujuran dan keterusterangan sahabat yang mulia ini sehingga kita bisa tahu bagaimana tabiat orang-orang yang duduk tidak berangkat berjihad.

Syekh Usamah melanjutkan dan berpesan agar kita berusaha mengobati jiwa kita, dan menasehati jiwa kita, saudara-saudara dan ulama kita dan kita berharap kepada Allah SWT agar sudi kiranya mengembalikan kita dengan pengembalian yang baik.

Video muhadhoroh Hadits Ka'b bin Malik dibuka dengan tayangan ayat Al Qur'an Surat At Taubah (9) ayat: 117 s/d 121 dengan latar belakang pegunungan Afghanistan. Kemudian langsung terlihat Syekh Usamah dengan tampilan khas beliau, bersurban, dengan latar belakang dinding bilik yang sangat sederhana. Dengan suara lembut, penuh perasaan beliau memulai muhadhoroh tentang syarah hadits Ka'b bin Malik berkenaan atau dalam peristiwa Perang Tabuk

Beliau membuka muhadhoroh dengan mengingatkan bahwa yang dibahas adalah tentang umat ini, terutama kondisinya yang parah karena berada di bawah kekuasaan orang-oang kafir yang menerapkan hukum-hukum selain hukum Allah SWT. Palestina telah 8 dekade dikuasai oleh nasrani dan kemudian yahudi.

Dan telah berlalu 10 tahun pendudukan salibis yang dipimpin Amerika. Mereka menduduki Masjidil Harom, negeri dua tanah suci (biladul haromain)

Dalam kondisi seperti ini ironisnya masih saja ada yang bingung dan belum tergerak hatinya untuk membela La ilaha ilallah. Bahkan ada yang berpendapat boleh saja mereka berdiam diri dan berpangku tangan dalam kondisi seperti ini.

Untuk itu, dalam kondisi yang demikian, umat perlu mencari kembali jalan yang terang dan jelas untuk bersikap, dan jalan itu tiada lain hanyalah dengan melihat bagaimana kehidupan para sahabat r.a.yang dengan itu kebenaran menjadi jelas daripada kebatilan.

Ka'b Bin Malik 'Tertinggal' Dalam Perang Tabuk ?

Ka'b bin Malik r.a bercerita tentang Perang Tabuk yang tidak diikutinya. Padahal ia adalah termasuk dari sahabat anshor yang pertama-tama masuk Islam. Ia termasuk yang hadir, menyaksikan dan berbai'at pada hari dilaksanakannya Bai'atul Aqabah. Bai'at agung yang menjadi pilar tegaknya daulah islam di Madinah.

Ia (Ka'b) menceritakan :

Saya tidak pernah absen dari setiap perang yang dipimpin Rasulullah SAW sama sekali, kecuali Perang Badar.

Ia termasuk yang menikmati perang dan mempersembahkan lehernya untuk membela La ilaha ilallah. Namun, manusia tetaplah manusia yang kadangkala digelincirkan syaitan, sekali waktu lemah dan tertipu oleh dirinya sendiri. Inilah yang diceritakan sahabat yang mulia ini.

Ia melanjutkan : Rasulullah SAW mengajak untuk berangkat perang pada saat hari panas menyengat.

Di saat orang-orang sedang 'qoilulah' (santai-santai) di bawah pohon-pohon korma mereka. Sementara itu, buah korma yang ada di pohon sudah mulai tampak matang.

Ia melanjutkan : waktu itu saya senang dengannya

Dalam artian ia menyenangi bernaung dan senang buah-buah korma tersebut. Inilah tabiat jiwa manusia, kita bisa membacanya pada orang-orang besar semacam mereka radillahu'anhum.

Syekh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya Fiqhus Sirah menjelaskan mengenai terjadinya Perang Tabuk, dalam buku beliau yang berjudul "At Ta'ashshub wat Tasamuh Bainal Masihiyah wal Islam" sebagai berikut :

"...Dan gereja tidak tahan hidup jika di sampingnya terdapat pikiran lain yang tidak sesuai dengan cabang-cabang ajarannya yang sekecil-kecilnya..."

Romawi berpendirian harus dapat membendung Islam dan menghancurkan Islam di daerah utara Semenanjung Arabia dengan pukulan yang mematikan. Berita-berita mengenai persiapan Romawi yang hendak menyerang daerah Islam itu didengar oleh Rasulullah SAW di Madinah. Agama Nasrani, sejak menguasai Romawi, selalu mendukung niat agresif yang ada pada para pendetanya.

Tidak ada pilihan lain bagi Rasulullah SAW kecuali harus mengerahkan kekuatan kaum Muslimin untuk menangkal agresi yang mengancam keselamatan Islam. Ini perkara penting, perkara pembelaan terhadap La ilaha ilallah. Kita lihat, Islam sejak dulu (di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW) selalu peka akan agresi yang hendak dilakukan kaum kafir kepada mereka. Baru terdengar kabar Romawi akan menyerang, umat Islam sudah bersiap diri untuk menghadang. Bagaimana perbedaannya kondisi tersebut dengan saat ini, dimana kaum kafir sudah menyerang di mana-mana, namun umat masih absen dari berjihad.

Kita kembali kepada kisah Ka'b yang pada waktu itu pun absen dari Perang Tabuk. Jika mereka saja (Ka'b) ada yang absen dari jihad, maka tidak heran apabila ada orang pilihan pada hari ini yang juga absent.

Saya lebih senang dan cenderung kepada pohon-pohon korma tempat berteduh. Ia berkata :

Sementara orang-orang mulai bersiap-siap dan saya pun mulai bersiap-siap. Waktu berlalu, hari pertama berlalu, dan saya belum menyiapkan apa-apa. Saya berkata, saya akan mempersiapkan itu semua besok, namun lagi-lagi belum ada satupun yang saya siapkan. Saya berkata pada diri sendiri (Syekh Usamah mengomentari : perhatikanlah peryataan nafsunya disini) : Saya berkata pada diriku sendiri, saya kuasa untuk berangkat bersama mereka. (Syekh Usamah melanjutkan komentarnya, si jiwa menipu pemiliknya, padahal ia biasa berjihad) Ia melanjutkan : Ini masalah sederhana, saya bisa berangkat. Saya berkata pada diriku sendiri saya bisa berangkat dan mampu melakukannya. Saya masih dalam keadaan semula sampai waktu perang semakin dekat. Rombongan menakutkan itupun berangkat, suatu rombongan agung. Komandannya Muhammad SAW, diiringi Abu Bakar, Umar, dan para sahabat yang mulia. Para ahli siroh memperkirakan mereka 30 ribu sahabat radiallahu'anhum.

Tipu Daya Jiwa & Beratnya Perang Tabuk

Di sini seorang Muslim harus mengetahui tipu daya jiwa. Berapa banyak orang yang duduk, berapa banyak orang yang berpangku tangan dari membela La ilaha ilallah tertipu oleh jiwanya. Seandainya ia (yang tertipu jiwanya) mau pergi berjihad, maka pasti ia akan berangkat. Seandainya bapaknya, pemimpinnya, atau yang menunjuknya menginginkan dia berangkat, maka pasti ia akan berangkat. Namun untuk maslahat Islam ia malah tidak berangkat. Ini adalah sebuah ketertipuan yang nyata dan jelas.

La hawla wa laa quwwata illa billah.

Sahabat ini tertipu oleh jiwanya padahal ia telah berpengalaman dalam peperangan dan pertempuran. Kaum anshor adalah "Abnaaul Huruub" (terbiasa dengan perang dan bertempur). Mereka mewarisi kebiasaan itu dari orang tua-orang tua mereka. Namun, ia bisa tertipu oleh jiwanya (nafsu). Lalu bagaimana dengan orang yang belum pernah berangkat perang sama sekali ?

La hawla wa laa quwwata illa billah.

Akan sangat mudah bagi jiwa untuk menipu pemiliknya. Mereka hidup dalam kehidupan yang sulit, tidak ada listrik, tidak ada AC dan tidak ada apa-apa. Buah kurma yang kelihatan mau masak di pohon korma membuatnya lebih cenderung pada duniawi. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang longgar dalam hal-hal yang mubah sampai malah berlebihan. Mereka tenggelam dalam kemewahan, bicarakanlah dan engkau tidak berdosa.

La hawla wa laa quwwata illa billah.

Bagaimana bisa mereka tidak tertipu jiwanya kecuali orang-orang yang dikehedaki oleh Allah SWT selamat. Orang-orang telah berangkat, sementara Ka'b jatuh ke dalam dosa yang sangat besar dan memalukan. Duduk tidak ikut membela La ilaha ilallah. Duduk tidak ikut membela tauhid dan aqidah. Merasa berat karena kenikmatan kehidupan dunia yang pada waktu itu masih sangat sedikit.

Perang Tabuk memang sebuah perang yang sangat menguji keimanan seseorang. Udara waktu itu panas. Dalam beberapa atsar lain di Tabuk, Umar r.a. berkata :

Jika salah seorang dari kita keluar menuju kendaraannya lehernya terasa mau putus karena saking panasnya.

Masih menurut Syekh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya Fiquh Siroh, persiapan untuk maksud tersebut (Perang Tabuk) bertepatan dengan musim paceklik dan kemarau panjang. Selain itu dibutuhkan kerja keras dan biaya yang besar sekali untuk menghadapi kekuatan kufur Romawi.

Romawi pada saat itu adalah sebuah kekuatan super power, sebuah kekuatan negara yang wilayahnya membentang di beberapa benua, negara yang memiliki sumber tenaga dan kekayaan luar biasa besarnya.

Pasukan kaum Muslimin sendiri dinamakan dengan Jaisul Usrah (Pasukan yang Menghadapi Kesukaran)

Firman-firman Allah SWT yang turun berkenaan dengan Perang Tabuk yang terjadi dalam suasana serba sulit, merupakan ayat-ayat terpanjang dibanding dengan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan peristiwa peperangan antara kaum Muslimin dan musuh-musuhnya.



Syekh Usamah bin Ladin melanjutkan penjelasannya dalam syarah hadits Ka'b. Lalu apa kata para pencinta dunia ? Apa kata mereka ?

"Mereka berkata : "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini. Katakanlah : "Api neraka jahannam itu lebih sangat (panas)nya, jika mereka mengetahui." (QS At Taubah (9) : 81)

Setelah itu, ketika ia (Ka'b) tertinggal rombongan perang. Ka'b berkata :

Saya ingin menyusul mereka namun itu tidak ditakdirkan untukku. Ia melanjutkan :

Duhai seandainya saya melakukannya

Syekh Usamah kemudian berpesan :

Wahai hamba Allah gunakan kesehatanmu. Manfaatkan waktu luang dan masa mudamu. Inilah medan-medan surga telah terbuka lebar. Rasulullah SAW bersabda :

"Sesungguhnya pintu-pintu surga terletak di bawah naungan pedang."

Ketika Abu Musa Al Asy'ari r.a. mengatakan hadits ini, ada seseorang bertanya :

Wahai Abu Musa apakah engkau mendengar hadits ini dari Rasulullah SAW., ? lihatlah sahabat ini menanyakan kejelasan hadits ini untuk mengamalkannya, bukan hanya untuk memperbanyak ilmu. Ini karena ilmu membutuhkan amal. Ia ingin menyakinkan bahwa hadits ini adalah shahih.

Abu Musa menjawab : Ya. Ia pun berlalu menuju kaumnya, mengucapkan salam kepada mereka lalu mengambil sarung pedangnya kemudian ia patahkan, kemudian ia pergi berperang sampai terbunuh.

Inilah manhaj para sahabat yang mulia. Manhaj para pendahulu kita r.a.

Ka'b bin Malik kembali berkata :

Duhai seandainya saya melakukannya

Diriwayatkan bahwa ada seorang ulama sholeh sedang menghadapi sakaratul maut, sedang ia berada di atas tempat tidur kematiannya. Kedua matanya meneteskan air mata, sedang ia adalah termasuk orang yang bertaqwa dan berilmu. Ia ditanya : Apa yang membuatmu menangis ? Sambil melihat kedua telapak kakinya ia menjawab : Saya menangis karena kedua telapak kakiku belum pernah terkena debu di jalan Allah SWT.

Kalian tahu hadits shahih dari Rasulullah SAW :

"Kedua telapak kaki seorang hamba yang terkena debu di jalan Allah tidak akan disentuh api neraka."

Allahu Akbar!

Suatu ibadah, hanya dengan menyentuh debunya saja bisa bisa melindungimu dari api neraka. Bagaimana dengan orang yang keluar dengan jiwanya dan hartanya dan tidak kembali lagi dengan keduanya. Maka itu adalah sebaik-baiknya amalan.

Kembali kepada situasi sahabat Ka'b, yang akhirnya tertinggal rombongan perang mulia tersebut. Dia tidak menemui yang ada di Madinah kecuali orang-orang yang munafik dan orang-orang yang memang memiliki udzur untuk tidak turut berperang.

Ketika Rasulullah SAW., sampai di Tabuk, beliau bersabda : "Apa yang dilakukan Ka'b bin Malik ? Beliau ingat kepadanya. Seseorang dari Bani Salamah menjawab : "Ia disibukkan oleh kedua pakaiannya dan karena menuruti perasaannya."

Beliau membicarakannya karena ia berpangku tangan dari pembelaan dien dan menjadikan dirinya di tempat yang tidak selayaknya untuk orang beriman, yakni berpangku tangan tidak membela dien.

Mu'adz bin Jabal r.a. menanggapi (kementar tersebut) berkata : "Buruk sekali omonganmu. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak tahu tentangnya kecuali kebaikan."

Ibnu Hajar mengomentari perkataan seseorang dari Bani Salamah tersebut : "Apa yang telah saya katakan kepada kalian bahwa orang yang berpangku tangan dari jihad telah menjadikan pembenaran bagi orang-orang untuk mencela dirinya, karena membela dien adalah termasuk kewajiban yang paling agung.

Dalam Perang Tabuk ini, ada juga sahabat yang bernama Abu Khoitsamah, yang juga hampir tertinggal mengikuti perang sebagaimana Ka'b bin Malik. r.a. Ia tiba, setelah semua orang berjalan, dan dia menyusul sendirian, meninggalkan qoidun (orang-orang yang duduk di belakang tidak berjihad). Hampir saja syetan menyelewengkannya, padahal Beliau termasuk sahabat yang mulia.

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan perkataan ulama ahli maghazi (peperangan) mengenai kisah Abu Khoitsamah. Abu Khoitsamah berkata :

"Saya masuk ke rumahku lalu saya melihat pondokan yang telah diciprati air. Padahal betapa bagusnya pondokan yang disirami air di musim panas. Saya melihat pondokan yang telah diciprati air dan saya melihat istriku. Terus aku berkata : 'Demi Allah ini tidak adil, Rasulullah SAW di bawah matahari terik dan kepanasan, sedangkan saya disini saya berteduh dan bersenang-senang. Ia pun mengambil tunggangannya dan sedikit kurma lalu berjalan hingga menyusul Rosul SAW.

Masya Allah, Allahu Akbar...!

Penyesalan, Kejujuran, Boikot, dan Tobat Ka'b bin Malik

Ka'b bin Malik melanjutkan kisahnya. Ketika Rasulullah SAW kembali dari Perang Tabuk, saya dilanda kesedihan yang mendalam dan kedukaan. Saya berkata : 'Dengan apa saya menemui Beliau?'

Kemudian saya mendatangi Beliau lalu Beliau tersenyum dengan senyum kemarahan. Beliau SAW., marah kepada Ka'b. Ka'b berkata : Beliau berpaling dariku. Ka'b lalu berkata : Aku tidak berlaku nifaq, aku tidak ragu-ragu, dan aku tidak mengganti agamaku, lalu apa yang membuatmu marah. Rasulullah SAW., kemudian menjawab :

"Apa yang membuatmu absen ?"

Sebuah pertanyaan dimana orang-orang juga akan ditanyakan demikian. Apa yang membuat absen dari membela La ilaha ilallah ?

Kemudian Ka'b mengaku dan berterus terang kepada Rasulullah SAW., dimana sikap Ka'b ini bisa menjadi ibroh bagi yang memiliki akal.

Saya berkata : Wahai Rosul, demi Allah, seandainya saya duduk di samping selain Anda dari para pencinta dunia, pasti aku akan keluar terbebas dari kemurkaannya dengan berbagai alasan.

Ka'b melengkapi : Sungguh saya diberikan kemampuan berdebat

Banyak orang sekarang yang memiliki kemampuan berdebat. Kemudian mereka palingkan kewajiban jihad yang saat ini hukumnya telah fardhu 'ain, dengan mengatakan bahwa sekarang belum waktunya. Lalu kapan waktunya ?

Ka'b melanjutkan : Sungguh saya diberikan kemampuan berdebat, namun demi Allah saya tahu, jika saya sekarang memberi tahu Anda dengan kebohongan yang membuat engkau ridho dengan alasanku, hampir-hampir Allah akan membuat engkau murka kepadaku.

Ka'b melanjutkan : jika aku menceritakan sejujurnya, engkau dapati aku di dalamnya. Dengan kejujuran itu aku berharap balasan dari Allah SWT. Ka'b mengatakan : Demi Allah saya tidak punya udzur.

Rasulullah SAW., bersabda :

"Sungguh orang ini telah berlaku jujur."

Padahal sebelumnya Ka'b berkata : "Saya teringat akan berdusta."

Syekh Usamah menjelaskan, jiwa itu punya celah-celah kelemahan yang banyak sekali, padahal syetan itu mengalir di pembuluh darah manusia. Kita berlindung kepada Allah SWT., darinya. Dan karena kejujurannya inilah Allah SWT., menyelamatkan Ka'b.

Lalu bagaimana dengan kondisi sekarang, dimana standar timbangan manusia sudah terbalik. Mayoritas manusia duduk berpangku tangan dari jihad. Sedikit sekali yang mau mengambil pelajaran dan ingat.

Kemudian datang perintah untuk memboikot, mengucilkan Ka'b dan dua sahabat lain yang absen dari Perang Tabuk. Mengucilkan orang-orang yang duduk berpangku tangan dari membela La ilaha ilalllah.

Ka'b melanjutkan : "Maka bumi menjadi terasa asing bagiku. Seolah-olah ia bukan bumi yang sudah aku kenal dan jiwaku sendiri terasa asing. "

Syekh Usamah mengatakan : sebenarnya ketidakhadiran 3 orang sahabat diantara 30 ribu pasukan dalam Perang Tabuk tidak berpengaruh sama sekali kepada pasukan. Namun ini bukan masalah pengaruh atau tidak berpengaruh, karena urusan ini sudah sampai masuk ke dalam hati. Yakni mengapa tidak mau hadir dalam membela agama Allah SWT. Ini merupakan amanah yang ada di pundakmu dan kewajibanmu yang seharusnya kamu laksanakan.

Kembali kepada Ka'b. Setelah 40 hari, datang seorang utusan Rasulullah SAW., datang kepadanya. Ia berkata : "Rasulullah SAW memerintahkan kepadamu, Tinggalkan istrimu."

Ka'b berkata kepada istrinya : "Pulanglah ke keluargamu sampai Allah memutuskan urusan kita."

Dua teman Ka'b menangis selama 40 hari. Salah seorang sahabat yang bernama Hilal bahkan sudah terkategorikan tua dan lemah. Namun Rasulullah SAW tetap tidak memberikan dispensasi kepadanya, untuk absen dalam jihad, membela agama Allah SWT.

Lalu bagaimanakah dengan kondisi umat Islam saat ini ? yang tidak memiliki uzur ? yang tidak tua dan lemah, mereka masih kuat, sehat, dan berkecukupan. Lalu mengapa mereka masih juga absen dalam jihad

Ka'b berkata : Ketika saya sedang duduk, dalam keadaan yang sudah saya sebutkan, tiba-tiba ada suara yang sampai kepadaku dengan nada memberi kabar gembira. Ada seorang laki-laki setelah turun taubat atas Rasululllah SAW.

Seorang lelaki naik ke bukit Salwa berteriak dengan suaranya yang paling keras, memberi kabar gembira kepada Ka'b.

Ka'b berkata : "Maka saya tersungkur sujud. Sambil menangis karena gembiranya taubatnya diterima Allah SWT."

Ka'b berkata : Wahai Rasulullah, sebagai bagian dari tobatku saya akan melepas semua hartaku. Rasulullah SAW menjawab agar dia hanya melepaskan 1/3 hartanya saja.

Ibroh Kisah Ka'b Bin Malik

Kini, kita tidak diminta untuk melepas seluruh harta kita, padahal ia milik Allah SWT. Lalu mengapa kita belum juga pergi berjihad, apa lagi yang menipumu ? Padahal telah sampai kepadamu hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan ibadah jihad. Kisah Ka'b dan kejujurannya ini adalah ibroh atau teladan bagi ummat saat ini agar memeriksa jiwanya dan mengatasinya, serta mengembalikannya pada kebenaran.

Kini, hendaklah kaum Muslimin melihat di manakah posisinya sekarang, dan siapkah dia dengan sebuah pertanyaan.

"Apa yang membuatmu absen berjihad?"

Bagaimana bisa seseorang yang mengaku mencintai Rasulullah SAW, mengaku mengikuti manhajnya, namun belum pernah berjihad di jalan Allah SWT., sekalipun?

Di jaman ini, di saat hukum jihad fardhu 'ain, bagaimana bisa kita mengambil fatwa atau fiqh jihad dari orang yang hanya duduk-duduk saja dan tidak pernah berjihad ?

Fiqih jihad, sebagaimana dikatakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau adalah seorang 'Alim Robbani Mujahid, yang berangkat bersama jiwanya untuk memerangi Tartar. Ia berkata :

'Dalam masalah-masalah wajib yang berhubungan dengan jihad, (maksudnya fatwa dalam masalah jihad) seharusnya diambil dari ulama yang benar-benar ulama. Yaitu yang mengerti realitas dunia (yang diantaranya adalah masalah jihad) bukan berdasarkan pandangan orang yang memandang dengan dien secara lahir dan juga bukan berdasarkan ulama yang tidak punya ilmu tentang realitas keadaan dunia.

Syekh Usamah memberikan contoh, saat ini banyak orang berargumen bahwa kita tidak mampu untuk menghadapi AS dan bala tentaranya. Kemudian berfatwa tidak atau belum wajib untuk berjihad. Padahal sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dalam kitabnya bahwa syarat orang berfatwa adalah dua hal yakni pertama faham fakta dan yang kedua faham nash untuk dikaitkan dengan fakta.

Perhatikanlah ayat-ayat berikut :

"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka : "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata " Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami ?" Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?" Katakanlah : "Kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun." (QS An Nisaa' (4) : 77)

Lalu Allah menjawab secara tegas dalam ayat berikutnya :

"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan : "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan :" Ini (datangnya) dari sisi Kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (dating) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?" (QS An Nisaa' (4) : 78)

Syekh Usamah menutup kajiannya dengan mengutip syair dari sahabat Ja'far, r.a. dan syair tentang Baitul Maqdis dan Ka'bah Musyarofah.

Duhai indah dan dekatnya surga, enak dan sejuk minumannya

Romawi telah mendekati siksaannya

Jika aku menemuinya saya harus menghantamnya..........

Penduduk Palestina merasakan gelas-gelas kesedihan

Sedangkan luka di Hijaz tidaklah kecil bagimu

Bukanlah putera-putera Islam itu kecuali orang-orang yang mulia

Dengan lukamu, musibah itu memaksa untuk menganggapnya kecil

Akan tetapi mereka...Akan tetapi meskipun terluka, keyakinan mereka

(tetap) besar (optimis) dengan kembalinya khilafah yang mulia

Sungguh mereka telah bersumpah...sungguh merka telah bersumpah dengan (nama) Allah bahwa jihad mereka akan tetap jalan meskipun Kisra (Persia) dan Qoyshar (Romawi) bersatu

Maka dalam kondisi saat ini, apakah layak dan patut kaum Muslimin berpangku tangan duduk-duduk saja meninggalkan jihad ?

Wallahu'alam bis showab!

Kamis, 25 Februari 2010

Isy Kariman aw Mut Syahidan


Isy Kariman aw Mut Syahidan. Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Slogan ini oleh aktivis Islam Liberal dianggap sebagai Slogan Pembangkit Militansi, ‘Teologi Maut’ yang negatif dan menghancurkan dan tidak sesuai dengan Islam. Jawa Pos, sebuah harian yang rajin mengekspos ide-ide sekuler dan liberal menurunkan tulisan sejak tanggal 26 September 2009 secara berseri untuk membahasnya. Tercatat ada 8 orang penulis, mulai dari Syafi’i Anwar hingga Kamaruddin Hidayat, termasuk Musdah Mulia ikut ambil bagian membuat tulisan pesanan tersebut.

Ironisnya, dalam membicarakan hidup mulia dan mati syahid tersebut tidak ada seorang pun penulisnya yang merupakan representasi seorang mujahid, atau ulama mujahid. Bahkan mengutip dari para mujahid atau ulama mujahid saja juga tidak, kecuali untuk ‘dipelintir’ maksudnya. Karena hampir seluruh penulisnya aktivis Islam liberal, maka arah dan kecenderungan tulisannya pun sudah bisa ditebak, yakni membela mati-matian ide liberalisme dan pluralisme serta menolak ide syariat Islam dan jihad. Lantas, apakah makna dari slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang sebenarnya?

Isy Kariman aw mut Syahidan, Haditskah ?

Isy Kariman aw Mut Syahidan berarti Hidup Mulia atau Mati Syahid, atau bisa juga berarti hiduplah dengan mulia dan matilah secara syahid alias menjadi seorang syuhada. Isy Kariman aw Mut Syahidan bukanlah sebuah hadits, melainkan semacam moto atau slogan dalam khazanah perjuangan Islam.

Ungkapan ini pertama kali dikemukakan oleh ibunda Abdullah bin Zubair, yakni Asma Binti Abu Bakar kepada puteranya, Abdullah bin Zubair. Konteks ungkapan itu juga kontekstual dan sangat heroik, karena disampaikan oleh Ibunda Asma kepada putranya Abdullah bin Zubair agar tetap semangat berperang membela kebenaran sampai titik darah penghabisan melawan kekuasaan tiran saat itu pimpinan Yazid bin Muawiyah.

Ungkapan ini menjadi istimewa karena diucapkan oleh seorang Shahabat atau Shahabiat, yang di dalam Islam memiliki kedudukan yang istimewa. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa ucapan Shahabat termasuk dalil syar’i yang bisa dijadikan rujukan untuk melakukan amal perbuatan.

Asma Binti Abu Bakar dalam Islam dikenal dengan julukan “Dzatu An Nithaqayn” yakni Wanita Dengan Dua Ikat Pinggang. Beliau mendapat julukan ini karena membawakan makanan untuk Rasulullah SAW dan Abu Bakar ketika hijrah dan memutuskan untuk membagi ikat pinggangnya menjadi dua untuk mengikat makanan dan air sehingga mereka dapat membawanya.

Sementara itu, Abdullah bin Zubair, dikenal dalam Islam sebagai seorang pemuda dan pejuang yang berani dan selalu siap berjuang untuk Islam. Dalam kehidupan sehari-hari beliau juga dikenal sangat tekun beribadah, dan sebagaimana pesan ibundanya, beliau juga mengakhiri hidupnya sebagai orang yang syahid dalam memperjuangkan Islam.

Syekh Umar Bakri Muhammad dalam bukunya “Hal Qowl as-Sahabah Hujjah fid Deen?” mendefinisikan ucapan Shahabat sebagai :

“Apa saja yang terkait dengan rantai periwayatan yang shahih dan tidak terdapat kontradiksi di dalamnya dengan dalil-dali syar’i (Al Qur’an dan Hadits), baik itu berupa perbuatan, perkataan, persetujuan (terhadap sesuatu) maupun pendapat.”

Dalam buku tersebut dijelaskan posisi Shahabat Rasulullah SAW yang begitu tinggi dan mulia dalam Islam, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pengajaran langsung tentang Islam dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, merekalah, alias para Shahabat yang paling tahu dan mengerti makna Islam dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak dalil Al Qur’an maupun hadits yang menjelaskan posisi para Shahabat dalam Islam yang begitu tinggi dan kewajiban kaum Muslimin untuk mengikuti mereka. Beberapa ayat menjelaskan masalah tersebut, di antaranya:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah (9) : 100)

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon , maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al Fath (48) : 18)

Dalam hadits Nabi SAW., terdapat banyak kemuliaan dan perintah untuk selalu berpedoman kepada para Shahabat, di antaranya :

“Sebaik-baik ummatku adalah generasiku (Shahabat), kemudian generasi sesudahnya (tabi’in), dan kemudian yang sesudahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Muliakanlah para Shahabatku, karena mereka adalah yang terbaik di antara kalian.” (HR. Ahmad, An Nasa’iy dan Al Hakim)

“Kalian akan senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian masih ada orang yang pernah melihatku dan bersahabat denganku. Demi Allah, kalian akan senantiasa dalam kebaikan selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan bersahabat denganku.” (HR. Ibnu Abi Syaybah, Ibnu Abi’ ‘Ashim, Ath Thabraniy, dan Abu Nu’aym)

“Bintang-bintang adalah penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang, maka akan datang bagi penduduk langit tersebut apa yang dijanjikan. Aku adalah penjaga para Shahabatku, apabila aku meninggal maka akan datang bagi para Shahabatku apa yang dijanjikan. Dan para Shahabatku adalah para penjaga ummatku, apabila para Shahabatku meninggal, maka akan datang bagi ummatku apa yang dijanjikan.” (HR. Muslim)

Dikarenakan ucapan atau qaul Shahabat juga merupakan dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah (argumen) dalam agama dan hasilnya dapat dipergunakan oleh ummat Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka moto atau slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang diucapkan oleh ibunda Abdullah bin Zubair patut menjadi perhatian dan kajian bagi kaum Muslimin.



Makna Hidup Mulia Dalam Islam

Secara fitrah, setiap manusia pasti mendambakan kehidupan mulia. Bagi setiap Muslim, setiap harinya mereka selalu berdoa kepada Allah SWT., agar diberikan kehidupan mulia di dunia, dan begitu pula di akhirat, Robbana atina fi dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah. Hanya saja perlu diperjelas, kehidupan seperti apa yang dianggap mulia dalam pandangan syariat Islam.

Hidup mulia dalam Islam hanya bisa tercapai jika fungsi dan esensi manusia diciptakan oleh Allah SWT bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi dan esensi tersebut adalah menjadi abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (khalifah Allah) di muka bumi. Kedua tugas suci tersebut telah disampaikan secara tegas sebagaimana firman Allah SWT :

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz Dzaariyat (51) : 56)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”. (QS Al Baqarah (2) : 30)

Dua fungsi dan esensi hidup mulia dalam pandangan Islam tersebut hanya bisa terealisir dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai syariat Islam yang menaungi. Bahkan kehidupan mulia di bawah naungan syariat Islam inilah yang mampu memberikan rahmat tidak hanya kepada orang Muslim, melainkan kepada seluruh alam, sebagaimana firmanNya :

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiyaa’ (21) : 107)

Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan:

Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad SAW., sebagai rahmat bagi semesta alam. Yaitu, Dia mengutusnya sebagai rahmat bagi kalian semua. Barangsiapa yang menerima dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan barangsiapa yang menolak dan menentangnya, niscara dia akan merugi dunia dan akhirat.

Maka dapat difahami bahwa hidup mulia dalam pandangan Islam hanya dapat dicapai jika Risalah Islam beserta syariat Islam diterima, diyakini dan diamalkan oleh manusia sebagai pedoman hidupnya dalam seluruh aspek kehidupan. Kehidupan mulia tidak hanya akan tercapai di dunia bahkan juga di akhirat, bahkan rahmat atau kemuliaan juga akan melingkupi seluruh alam semesta. Untuk tujuan inilah, kehidupan dan perjuangan seorang Muslim diarahkan, sehingga kalaupun dia belum berhasil mencapainya, namun dia telah mengupayakannya dan tetap yakin bahwa Allah SWT suatu saat pasti akan memberikan hal tersebut kepada hamba-hambaNya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :

“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nuur (24) : 55)



Mengapa Mati Syahid Menjadi Dambaan?

Dalam Islam dan bagi kaum Muslimin telah maklum bahwa hidup di dunia tidak selamanya dan kehidupan di akhiratlah yang abadi dan harus menjadi prioritas dan diusahakan semaksimal mungkin pencapaiannya.

Tidak berguna jika hidup di dunia mulia, kaya raya, berumur panjang, namun akhirnya menemui kematian dengan buruk (su’ul khatimah). Karena yang menjadi perhitungan dan menentukan bagi kehidupan seseorang adalah bagian akhirnya, apakah berakhiran atau menemui kematian dengan buruk (su’ul khatimah) atau berakhiran dengan baik (khusnul khatimah).

Nabi SAW bersabda :

“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar telah beramal dengan amalan ahli neraka padahal sesungguhnya ia termasuk ahli surga, dan beramal dengan amalan ahli surga padahal ia termasuk ahli nereka. Dan sesungguhnya amal-amal itu tergantung penutupannya.” (HR. Bukhari)

Syekh Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya “Al Jihaadu Sabiluna” mengatakan :

‘Islam mendorong kaum Muslimin untuk berjihad di jalan Allah dan menggesa mereka untuk terjun ke kancah kancah peperangan dan pertempuran dalam rangka meninggikan kalimat Allah, memberanikan mereka untuk menerjang bahaya dan kesulitan demi memperoleh ridha Allah, serta memotivasi mereka agar senang menyongsong maut dengan lapang dada, hati tegar, dan jiwa yang tenang lantaran menginginkan apa yang ada pada sisi Allah. Dan Allah telah membesarkan ganjaran dan pahala atas amal tersebut serta melimpahkan keutamaan dan anugerah di dalamnya.’

Beliau di dalam bukunya juga menjelaskan bahwa Allah SWT telah menyiapkan bagi mujahidin dan orang-orang yang mati syahid di jalanNya berbagai karomah, anugerah, ketinggian maqom, dan ketinggian kedudukan yang tidak dapat dicapai melalui ibadah-ibadah yang lain bahkan lewat shalat, zakat, puasa, haji, serta seluruh bentuk ibadah dan qurobah (pendekatan diri kepada Allah yang lain). Dengan penjelasan ini, tidak heran mengapa mati syahid menjadi kematian yang begitu tinggi kedudukan dan keistimewaannya dalam pandangan Islam dan menjadi dambaan setiap Muslim yang mengerti serta memahami permasalahan tersebut.

Syekh Usamah bin Ladin dalam video The Caravan of Syuhada mengatakan :

“Penutup para nabi dan rasul, Muhammad SAW., mengharapkan kedudukan ini. Perhatikan dan renungkan kedudukan seperti apakah yang diharapkan oleh sebaik-baiknya manusia ini. Beliau berharap menjadi seorang syahid.

Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya. Sungguh aku berharap bisa berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh. (Al Hadits)

Hidup yang lama dan panjang ini diringkas oleh Nabi SAW dengan petunjuk Allah SWT., dalam sabda Beliau di atas. Beliau sangat menginginkan kedudukan ini Orang yang bahagia adalah orang yang telah dipilih oleh Allah SWT sebagai seorang syahid.”

Syekh Jabir bin Abdul Qoyyum As Sa’idi Asy Syami dalam bukunya “Al Ishobah Fii Tholabisy Syahaadah” menjelaskan mengapa mati syahid atau menjadi syuhada itu begitu memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam.

Diriwayatkan dari Sahal bin Hanif, ia dari bapaknya, bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Nabi SAW., bersabda:

Barangsiapa memohon mati syahid kepada Allah dengan tulus, niscaya Allah akan menyampaikannya ke derajat para syuhada' meskipun ia mati di atas kasurnya. (HR Muslim, Tirmidzi, Nasai, dan Abu Daud)

Diriwayatkan dari Abu Is-haq, dari Al Barro', ia berkata: Seseorang dari Bani An Nabit dari kalangan anshar datang lalu berkata: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah (sesembahan yang benar) kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian ia maju dan berperang sampai terbunuh. Maka Nabi SAW., bersabda :

Orang ini beramal sedikit namun diberi pahala banyak. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Dengan demikian, dalam pandangan Islam sesungguhnya keberhasilan yang paling utama dan anugrah yang paling baik yang didapatkan oleh seseorang itu adalah jika Allah memilihnya untuk mati syahid.

Nabi SAW bersabda kepada seorang sahabat yang berdo'a kepada Allah dengan mengucapkan:

Ya Allah berikanlah kepadaku apa yang paling baik yang telah Engkau berikan kepada hamba-Mu yang sholih.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda kepada orang tersebut:

Jika demikian kudamu akan tersembelih dan engkau akan mati syahid di jalan Allah.

Maka Mut Syahidan atau mati syahid atau mati sebagai seorang syuhada (orang yang berjihad di jalan Allah SWT) adalah kedudukan yang sangat besar dan tinggi yang tidak akan diraih kecuali oleh orang yang layak untuk mendapatkannya.

Dalam hadits lain disebutkan :

“Dikatakan, “Wahai Rasulullah, amal apa yang dapat menyamai (pahala) jihad fi sabilillah ? Nabi bersabda, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” Lalu mereka mengulang pertanyaan itu atau tiga kali, dan semua dijawab, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” ! Lalu Nabi bersabda, Perumpamaan mujahid fi sabilillah seperti orang yang shaum (puasa) dan shalat malam dan membaca ayat-ayat Allah dan tidak berhenti melakukan shiyam dan sholat sampai seorang mujahid fi sabilillah kembali.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik rodliyallohu 'anhu bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Tidak ada seseorang yang telah mati yang mendapatkan kebaikan di sisi Allah, kemudian dia ingin kembali ke dunia atau ia diberi dunia dan seisinya kecuali orang yang mati syahid. Sesungguhnya orang yang mati syahid itu berharap untuk dapat kembali ke dunia lalu ia terbunuh di dunia lantaran keutamaan mati syahid yang ia lihat. Dan di dalam riwayat lain disebutkan: lantaran kemuliaan yang ia lihat.



Khatimah

Jadi tidak ada yang salah dengan mati syahid. Mati syahid bukanlah sebuah kematian yang sia-sia, terhina, harus ditangisi, dilecehkan dan ditakutkan oleh seorang Muslim. Karena mati syahid, mati ketika memperjuangkan agama Allah SWT atau jihad fi sabilillah, adalah sebuah kematian yang sangat tinggi dan mulia kedudukannya di dalam Islam, yang tidak mungkin dicapai dan diraih kecuali oleh orang-orang yang memang dipilih oleh Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW sebagai contoh dan teladan kaum Muslimin memberikan ilustrasi yang begitu indah tentang mati syahid, dimana beliau begitu menginginkannya dan berharap bisa mencapainya. Bukankah ini menjadi sebuah bukti yang tidak terbantahkan?

Adapun kehidupan mulia dalam Islam juga bukan berarti hidup mewah dan berfoya-foya serta lantas lupa kepada Sang Pencitpa, Allah SWT, sebagaimana sangkaan orang kebanyakan yang hidup pada saat ini. Hidup mulia di dunia dalam pandangan Islam adalah sebuah ketundukan total seorang manusia, baik sebagai seorang hambaNya, dan juga sebagai khalifahNya.

Kehidupan mulia di dunia hanya bisa tercapai jikalau seluruh syariat Islam diberlakukan secara kaafah (totalitas) sehingga tidak hanya orang Muslim yang akan mendapatkan rahmat, orang non Muslim juga akan mendapatkan rahmat, bahkan alam semesta. Maka sudah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat meraih kehidupan mulia di dunia, yakni dengan jalan selalu mengupayakan tegaknya syariat Islam di muka bumi.

Dengan demikian, betapa indah dan bertujuan indah, serta penuh maknanya semboyan dan slogan yang telah diucapkan oleh Shahabat dan kini menjadi populer kembali, yakni Isy Kariman aw Mut Syahidan. Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Keduanya adalah kebaikan yang sangat didambakan oleh setiap Muslim. Semoga kita bisa meraih salah satu dari keduanya, Insya Allah…!

Rabu, 03 Februari 2010

PESAWAT TEMPUR ISRAEL GEMPUR GAZA PAGI INI

Militer Israel melancarkan serangan udara di jalur Gaza pada Rabu pagi ini (3/2), menurut saksi mata warga Palestina, pesawat-pesawat tempur Israel menargetkan terowongan-terowongan bawah tanah di perbatasan dengan Mesir dan sebuah bandara kosong.

Kepada Reuters saksi mata menyatakan bahwa pesawat jet Israel telah menembakkan tidak kurang lima roket ke sebuah bekas bandara dan terowongan bawah tanah, yang diyakini oleh Israel digunakan untuk melakukan penyelundupan senjata.

Situs Al-Jazeera mendapatkan informasi dari sumber medis, mengatakan bahwa serangan tersebut telah melukai tiga orang, namun ditambahkan bahwa belum ada informasi yang bisa dikonfirmasi mengenai korban yang tewas dalam serangan itu.

Seorang juru bicara tentara Israel membenarkan adanya serangan udara dari pesawat jet tempur mereka, ia mengatakan bahwa serangan yang dilakukan menargetkan dua sasaran, salah satunya terowongan bawah tanah yang di duga kuat digunakan para pejuang Palestina untuk menyelundupkan senjata dari Mesir.

Juru bicara tentara Israel tersebut juga menyatakan, serangan udara mereka sebagai tanggapan atas dua roket yang ditemukan di pantai mediterania yang ditembakkan ke wilayah Israel dan salah satu roket mendarat di daerah pertanian pada hari Selasa kemarin.

Serangan udara Israel datang tak lama setelah diadakannya jumpa pers antara perdana menteri Israel Netanyahu dengan mitranya pemimpin Italia Silvio Berlusconi, hari Selasa kemarin. Dalam jumpa pers tersebut, Netanyahu menyatakan Israel akan segera menanggapi temuan roket di pantai.

Kelompok Jihad Islam mengatakan, mereka telah meluncurkan roket ke wilayah Israel dalam sebuah operasi gabungan dengan Brigade Syuhada Aqsha Selasa kemarin.